Tidurku sedikit
terganggu dengan suara yang nyaris jarang kutemui sebelumnya. Oh, ternyata
hujan. Segera ku terbangun melihat handhone, lalu membuangnya. Tidak ada pesan yang mengingatkanku untuk menjemputmu diperaduan seperti jumat
jumat sebelumnya. Semacam tidak semangat untuk bangun. Masih kuharapkan ini
semua hanyalah mimpi. Sepertinya kubelum bisa mengikhlaskan kepergianmu. Kita
sepakat untuk tidak meneruskan perjalanan suci.
Ketidakpedulianku, seringkali membuatmu
terpaksa menanggung sejuta perih yang mendidih, begitu terik dan menghauskan,
mengupas jiwamu selapis demi selapis, hingga kau terlalu lelah, bahkan hanya
untuk sekedar meronta. Dan ketika kau coba berteriak, menangis
sekencang-kencangnya, kenyataan masih saja seperti itu, selalu sama, tak bergeming
sama sekali.
Tapi ku tak bisa meneruskan tidur, karena
ku telah kenyang sebenarnya. Segeraku cuci muka, menyadarkan ingatan yang
sempat tertinggal dialam bawah sadar. Menyeduh teh dan merayakan hujan. Tak
banyak yang bisa kulakukan, hujan memaksaku untuk diam, mengingat kegetiran
hati. Semacam tak puas dengan kemarau panjang.
Secangkir teh dan kesedihan dibawah sebaris
hujan, mungkin bukan perpaduan yang cocok
Disaat seperti inilah, kumerindukan
lengkung senyum pelangi setelah hujan. Tapi hujan memaksaku untuk terus
menunggu. Menunggu tak pasti apakah pembiasan matahari itu akan muncul.
Sepertinya dia enggan muncul, mengingat kejadiaan kejadian yang sangat
memilukan hatinya.
Hingga pada akhirnya, kuhanya bisa tertegun
menahan kesedihan yang tak bisa kuluapkan dengan tangisan. Tangisan seorang
yang menyesali perbuatan nya. Semacam penjara batin yang tak kunjung selesai.
Didindingnya kugoretkan tanda berapa lama ku ditahan disini. Menantikan hari
dimana ku keluar dari siksaan batin yang berkecamuk didada. Sungguh jiwa ini
ingin keluar, tapi raga tak senada. Semacam ingin merasakan hukuman yang pantas
didapatkan. Mungkin apa yang kurasakan belum sebanding dengan dirimu pelangi.
Yang sabar menantikan hujan dipenghujung musim kemarau panjang. Bahkan sumurku
pun hampir mengering dibuatnya.
Disini ku mulai sadar, engkaulah pelangi
itu. Merayakan kemenangan hati yang selama ini bersembunyi dilubuk hati
terdalam. Mungkin kupuas dengan kemarau, sekarang saatnyalah dirimu merayakan
kesenangan itu. Pada sore yang merindukan hujan. Muncul lah setelah hujan
selesai wahai pelangi. Menghibur diriku yang merindukanmu.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar