Jumat, 05 Oktober 2012

Pelangi Setalah Hujan



Tidurku sedikit terganggu dengan suara yang nyaris jarang kutemui sebelumnya. Oh, ternyata hujan. Segera ku terbangun melihat handhone, lalu membuangnya. Tidak ada pesan yang mengingatkanku untuk menjemputmu diperaduan seperti jumat jumat sebelumnya. Semacam tidak semangat untuk bangun. Masih kuharapkan ini semua hanyalah mimpi. Sepertinya kubelum bisa mengikhlaskan kepergianmu. Kita sepakat untuk tidak meneruskan perjalanan suci.

Ketidakpedulianku, seringkali membuatmu terpaksa menanggung sejuta perih yang mendidih, begitu terik dan menghauskan, mengupas jiwamu selapis demi selapis, hingga kau terlalu lelah, bahkan hanya untuk sekedar meronta. Dan ketika kau coba berteriak, menangis sekencang-kencangnya, kenyataan masih saja seperti itu, selalu sama, tak bergeming sama sekali.

Tapi ku tak bisa meneruskan tidur, karena ku telah kenyang sebenarnya. Segeraku cuci muka, menyadarkan ingatan yang sempat tertinggal dialam bawah sadar. Menyeduh teh dan merayakan hujan. Tak banyak yang bisa kulakukan, hujan memaksaku untuk diam, mengingat kegetiran hati. Semacam tak puas dengan kemarau panjang.

Secangkir teh dan kesedihan dibawah sebaris hujan, mungkin bukan perpaduan yang cocok

Disaat seperti inilah, kumerindukan lengkung senyum pelangi setelah hujan. Tapi hujan memaksaku untuk terus menunggu. Menunggu tak pasti apakah pembiasan matahari itu akan muncul. Sepertinya dia enggan muncul, mengingat kejadiaan kejadian yang sangat memilukan hatinya.

Hingga pada akhirnya, kuhanya bisa tertegun menahan kesedihan yang tak bisa kuluapkan dengan tangisan. Tangisan seorang yang menyesali perbuatan nya. Semacam penjara batin yang tak kunjung selesai. Didindingnya kugoretkan tanda berapa lama ku ditahan disini. Menantikan hari dimana ku keluar dari siksaan batin yang berkecamuk didada. Sungguh jiwa ini ingin keluar, tapi raga tak senada. Semacam ingin merasakan hukuman yang pantas didapatkan. Mungkin apa yang kurasakan belum sebanding dengan dirimu pelangi. Yang sabar menantikan hujan dipenghujung musim kemarau panjang. Bahkan sumurku pun hampir mengering dibuatnya.

Disini ku mulai sadar, engkaulah pelangi itu. Merayakan kemenangan hati yang selama ini bersembunyi dilubuk hati terdalam. Mungkin kupuas dengan kemarau, sekarang saatnyalah dirimu merayakan kesenangan itu. Pada sore yang merindukan hujan. Muncul lah setelah hujan selesai wahai pelangi. Menghibur diriku yang merindukanmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar