“Kamu adalah luka masa lalu, belum mengering dan masih
berbekas. Tapi tak kuperdulikan karena memang aku yang salah terlalu ngebut
dalam berkendara--dan terjatuh. Begitulah ku mendeskripsikan dirimu. Dikeramaian
subuh ku melihatmu lagi dan cerita pun bermulai (kembali).”
Dulu aku beranggapan
hari tercantik bagi dirimu adalah saat kita ada disuatu tempat makan. Kau
menikmatinya perlahan dan aku tergesa gesa menghabisinya. Ternyata anggapan ku
salah, kau lebih cantik dari hari terakhir kita bertemu. Saat itu tanggal
27/09/2010 saat aku utarakan perasaan ku kepadamu. Dan kau menolaknya. Sejak
saat itu aku belum bisa menerima keadaan dan menghilang dari kehidupanmu.
Menyerah dan tak berkutik barangkali.
Ya, Anggapanku salah
besar. Kau cantik, cantik sekali. Seperti ada lautan arti di balik senyum
kecilmu, yang membuatku memikirkan lengkung bibirmu. Mengapa Tuhan begitu baik,
padahal aku tak memakai parfume axe sebenarnya. Mengapa ada bidadari surga
sampai bisa lolos? Mungkin dia bukan lupa diri, tapi lupa waktu kapan
seharusnya kembali ke surga. Pemandangan langka dan aku mensyukurinya. Kok
paragraf ini sedikit lebay ya. Bodo ah.
Kau adalah harapan,
dan aku mengharap lebih. Sekarang? Masih berharap tapi tak berlebihan. Ingat keputusan
pahit hari itu, lebih dari sekedar menyesakkan. Bahkan saat itu tak ada kopi
yang manis walaupun sengaja kulebihkan gulanya. Tak ada pagi yang indah, karena
sengaja ku bangun agak siang--mengharapkan cuaca cerah dimusim penghujan. Sulit.
Kau adalah pertanyaan,
dan tak ada satupun orang yang mengetahui kunci jawabannya. Ternyata kau
sengaja tak memberikan kisi-kisi nya kepada orang lain. Hebat. Dan aku mungkin
adalah murid terbodohmu yang sudah sekali tak lulus ujian. Masih adakah kesempatan
remedial untuk memperbaiki nilai ku dimatamu? Semua itu cuma untuk membuktikan
aku tak sebodoh seperti apa yang dikatakan otak kepada hati. Dalam keadaan seperti
ini mereka tak sependapat.
Ya, Aku tak menampik
kalau sebenarnya otak ku berfikir ini tak realistis untukku--berharap lebih kepadamu.
Tapi bolehkah aku memberikan kesempatan kepada hatiku untuk sekedar
menyenangkannya, walaupun tidak kekal. Benih ketertarikan akan pribadimu
terlanjur tertanam, dan bolehkah aku meminta tolong kepadamu untuk menyiramnya?
Walaupun nantinya aku gagal panen (lagi), setidaknya ini hasil kerja kerasku
dan juga kamu.
Kau adalah cuaca, dan
aku tak membawa payung. Iklim hatimu tak bisa ditebak, bahkan oleh seorang peramal
cuaca hati wanita sehebat Ashton Kutcher di film “Spread”
(jika kau pernah menonton nya). Apa yang bisa kulakukan, hanya menduga-duga kapan
kau akan menurunkan hujan. Karena disaat hujan lah ku menunda segala aktivitas
hanya sekedar untuk menyapamu di fikiranku.
Aku ingin sejenak kau
peluk aku di jeda aku menyusun kata demi kata yang melukiskanmu bagi hidupku
ini. Kalimat sebelum ini adalah permintaan tak realistis ya sebenarnya. Mana kau
mau terpaksa menunda mimpi indahmu hanya untuk sekedar memeluk lalu pergi lagi.
Oh iya, aku menulis tulisan ini pada malam hari asal kau tahu. Sengaja ku pilih
malam hari untuk menulis agar jika kau bertanya aku sedang apa, aku tak perlu
berbohong.
Ah saya sudah mulai
ngelantur, bingung sebenarnya menyudahi tulisan ini. Karena apa yang saya tulis
tidak ada apa-apanya dibanding apa yang sebenarnya kufikirkan. Sebab membicarakanmu
tak cukup segelas-dua gelas kopi. Butuh berteguk-teguk, setiap teguk punya
kisahnya sendiri. Terimakasih sudah membuat kopiku terasa manis untuk sekarang
ini. Semoga ku tak meneguk ampasnya. Terima kasih sudah memberi warna berbeda
dalam hidupku.
Izinkan ku berharap padamu.
Aku bukan tidak menyayangimu. Aku hanya tidak ingin mendewakan perasaanku
sendiri. Sebab banyak pertanyaan dalam benakku yang hanya kau ketahui jawaban
nya. Di awal tulisan ini aku berucap “dan
cerita pun bermulai (kembali)”, sekarang aku memintamu untuk menentukan
alur ceritanya dan jika bosan kau boleh hentikan sesukamu, sebab apa yang kau mau ku hanya bisa berkata “iya”.
Terimakasih sudah membuat kopiku terasa manis untuk sekarang
ini

Tidak ada komentar:
Posting Komentar